Halaman

Selasa, 20 Januari 2009

Berdakwah kepada orang tua dan Keluarga Dekat......caranya?

Oleh: Ustadz Abu Ammar Muhammad Wujud


Apakah penting berdkawah pada "ortu"?
mungkin kebanyakan orang tidak berpikir demikia namun sebenaranya ini adalah hal yang perlu di perhatika loh..!
kenapa?

dakwah kepada ortu juga temasuk amar ma'ruf nahi mungkar...!(apa itu amar ma'ruf nahi mungkar klik disini)

Tidak sedikit didapati kaum muslimin melakukannya tanpa berbekal ilmu sehingga justru mendatangkan kemadhorotan. Terkadang didapati seseorang telah sedemikian semangat dalam berdakwah kepada masyarakat tetapi dia lupa kepada keluarga dekatnya bahkan kepada kedua orang tuanya. Terkadang pula didapati mereka yang bersemangat dalam berdakwah kepada keluarga dekat juga kepada orang tuanya tetapi tidak mengindahkan kaidah-kaidah yang mesti dilakukan sehingga bukan kebaikan yang dia dapat akan tetapi justru kejelekan, bukan dengan perbuatan tersebut dia berbuat baik kepada orang tua tetapi justru berbuat durhaka kepada keduanya....

berikut adalah penjelasanya..>>>>


1. Alloh berfirman:



Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Ali Imron: 110)

Di dalam ayat ini disebut secara umum dan tidak dikhususkan kepada orang-orang tertentu. Nabi ketika datang kepada beliau sahabat Jarir untuk berbai’at kepadanya maka Nabi bersabda: “Dan berikanlah nasihat kepada setiap muslim.” (HR. Bukhori)

Tidak diragukan lagi, bahwa orang tua dan keluarga dekat termasuk di dalam golongan orang-orang yang diisyaratkan oleh Nabi tersebut. Maka hendaklah kedua orang tua disuruh dalam kebaikan dan dicegah dari kemungkaran sebagaimana yang dilakukan kepada selain mereka.

2. Alloh berfirman:

Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. (QS. asy-Syu’araa [26]: 214)

Dalam ayat ini Alloh memerintahkan kepada nabi-Nya memberi peringatan kepada keluarga dekat beliau. Alloh secara khusus menyebut mereka untuk menunjukkan pentingnya memberi peringatan kepada mereka dan Rosululloh telah menunaikan kewajiban tersebut dengan memberi peringatan kepada keluarganya yang terdekat. Ketika turun ayat di atas, Rosululloh mengumpulkan keluarganya. Beliau naik ke bukit Shofa sambil memanggil mereka, kemudian beliau bersabda:
“Bagaimanakah pendapat kalian semua seandainya aku memberitahukan kepada kalian bahwa ada pasukan kuda di balik bukit yang hendak menyerang kalian, apakah kalian akan mempercayainya?” Mereka menjawab: “Ya, kami tidak mengenalmu selain sebagai orang jujur.” (HR. Bukhori)

Hikmah yang dapat di ambil dari peringatan Rosululloh sebagaimana tersebut di atas, beliau memberi peringatan kepada paman dan bibi beliau, sedangkan kedudukan paman dan bibi adalah sama dengan orang tua sebagaimana sabda Nabi :
“Abbas adalah paman Rosululloh , sesungguhnya paman seseorang sama dengan bapaknya.” (HR. Tirmidzi)

Memuliakan paman sama dengan memuliakan orang tua dan menyakitinya sama dengan menyakiti kedua orang tua.

3. Nabi Ibrohim berdakwah kepada bapaknya.

Alloh berfirman dalam surat Maryam [19]: 41–48, di dalamnya berisikan kisah Nabi Ibrohim dalam mendakwahi orang tuanya. Dalam ayat ini ditunjukkan adanya pengingkaran kepada orang yang diperintahkan untuk dihormati, dan hal ini dimulai dari orang yang paling dekat sebagaimana firman Alloh di dalam surat asu-Syu’aro’ [26]: 214, dan at-Tahrim [66]: 5, serta sabda Rosululloh :
“Mulailah dengan orang-orang yang engkau nafkahi.” ( HR. Bukhori)

4. Nabi berdakwah kepada paman-pamannya. Banyak sekali dalil yang menunjukkan kepada dakwah beliau terhadap paman-pamannya, di antaranya ketika Abu Tholib akan meninggal, datanglah Rosululloh kepadanya, beliau bersabda:
Wahai pamanku! Ucapkanlah ‘Laa Ilaha Illalloh’, suatu kalimat yang aku persaksikan dengan kalimat itu atasmu di hadapan Alloh.” (HR. Bukhori)
Ketika paman beliau, Abbas, sedang mengeluh dan mengharap kematian kepadanya, beliau berkata :
“Janganlah engkau mengharapkan kematian, wahai paman Rosululloh! Sesungguhnya jika engkau tetap hidup akan ditambah kebaikanmu, dan itu lebih baik bagimu. Jika engkau tetap hidup engkau dapat meminta maaf atas kesalahanmu, dan itu lebih baik bagimu.” (HR. Bukhori)
Tindakan sahabat mengingatkan Nabi ketika beliau lupa, menunjukkan disyari’atkannya berdakwah kepada orang tua. Satu di antara hadits yang berbicara masalah ini adalah:

Tatkala beliau mengimami sholat lalu beliau terlupa bacaan ayat sedang para sahabat tidak mengingatkan beliau. Maka seusai sholat Nabi menegur para sahabat dan mengingatkan mereka agar mengingatkan bacaan beliau bila beliau terlupa.
Jika Nabi sebagai penghulu umat ini menganjurkan kepada umatnya untuk menegur ketika beliau lupa dan menerima dengan lapang dada dari teguran mereka, maka kepada selain beliau—termasuk kepada kedua orang tua—adalah lebih layak. Ketika kesopanan dan adab kepada Nabi tidak menghalangi untuk mengingatkan beliau ketika lupa, bukankah kepada selain beliau lebih utama?

5. Besarnya hak orang tua terhadap anak menuntut perhatian yang besar untuk mendakwahi mereka.

6. Dakwah anak kepada orang tua merupakan faktor pemicu semangat dakwah si anak kepada orang lain. Dakwah kepada orang tua akan menghilangkan prasangka buruk terhadap pribadi seorang da’i. Orang tidak akan berkomentar mengapa si da’i tersebut mendakwahi orang lain sementara dia tidak mendakwahi orang tuanya. Di antara hikmah yang didapat dari dakwah Nabi Ibrohim kepada bapaknya adalah agar menjadi hujjah bagi kaumnya, sehingga mereka tidak berkata: “Mengapa dia meninggalkan orang-orang dekatnya dan justru mendakwahi kita? Bukankah seharusnya dia tidak membedakan orang yang dekat dan yang jauh seandainya yang dikatakan adalah kebaikan.”
Sepertinya, ini adalah rahasia mengapa Rosululloh diperintahkan untuk mengingatkan keluarga dekat sebelum orang lain. Beliau lakukan dengan terang-terangan, beliau kumpulkan mereka, beliau peringatkan mereka dari siksa Alloh, dan lain-lain.
Bagaimanakah cara berdakwah kepada orang tua?
Dari uraian di atas, kiranya jelas bagi kita tentang urgensi amar ma’ruf nahi munkar. Bahwasanya Alloh memerintahkan hamba-Nya untuk beramar ma’ruf dan nahi munkar kepada manusia secara umum serta kepada keluarga dekat dan kedua orang tua secara khusus. Bahwa berdakwah (baca: amar ma’ruf nahi munkar) memiliki tahapan dan adab-adab yang harus diperhatikan. Tahapan dan adab apakah yang mesti dilakukan oleh seorang anak ketika berdakwah kepada kedua orang tuanya?
Hal yang mesti dilakukan oleh seorang anak ketika mendakwahi kedua orang tuanya adalah dengan menjelaskan hukum suatu perbuatan dan menasihati keduanya. Dengan kata lain, memberi tahu kepada orang tua agar mengerjakan kewajiban yang ditinggalkan dan meninggalkan segala keharaman yang masih dilakukan. Dan upaya menasihati ini hendaklah dilakukan dengan penuh kelembutan dan tidak emosional. Berikut ini beberapa keterangan yang menjelaskan perkara tersebut:

1. Dasar dalam berdakwah kepada manusia secara umum adalah dengan lemah lembut dan tidak menempuh jalan kekerasan — kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu. Jika hal tersebut berlaku untuk manusia secara umum maka lebih utama lagi kepada kedua orang tua karena besarnya hak mereka terhadap si anak (lihat QS. al-Isro’ [17]: 23–24, Luqman [31]: 14–15).

2. Alloh menjadikan Nabi Ibrohim sebagai uswatun hasanah (suri teladan) bagi kita dan di dalam al-Qur’an disebut secara khusus dua ayat dengan kata-kata uswatun hasanah, yaitu terhadap Nabi Ibrohim dan Nabi Muhammad, karena kedekatan dan kesamaan apa yang dibawa oleh kedua nabi dan rosul tersebut. Kepada bapaknya, Nabi Ibrohim berdakwah dengan penuh kelembutan, santun, dan rasa sayang. Padahal, orang tua beliau dalam keadaan kafir, seperti yang digambarkan oleh Alloh dalam firman-Nya
(artinya):
Ceritakanlah (wahai Nabi Muhammad) kisah Ibrohim di dalam al-Kitab (al-Qur’an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang nabi. Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya: “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Robb yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa adzab dari Robb yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan.” Berkata bapaknya: “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrohim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama.” Berkata Ibrohim: “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Robbku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.” (QS. Maryam [19]: 41–47)


3. Kelemahlembutan Nabi Ibrohim dalam mengajak bapaknya dapat kita temukan dalam beberapa segi:
Beliau menyapa bapaknya dengan kata-kata “hai bapakku” untuk menggambarkan hubungan dekat antara anak dengan bapak (lihat QS. Maryam: 42–44).

* Beliau mengajak bapaknya untuk mengevaluasi kembali perbuatannya yaitu mengapa dia menyembah sesuatu yang tidak dapat mendengar, tidak melihat, dan tidak memberi manfaat sedikitpun (lihat QS. Maryam [19]: 42).
* Beliau sama sekali tidak menuduh bapaknya dengan kata “bodoh” dan sekaligus tidak mengklaim dirinya sebagai yang paling pintar. Beliau tetap santun dalam menjelaskan kepada bapaknya (lihat QS. Maryam [19]: 43)
* Beliau mengingatkan bahwa berpalingnya bapak beliau dari beribadah kepada Alloh tidak lain karena menuruti setan (lihat QS. Maryam [19]: 44).
* Beliau sama sekali tidak mengatakan bahwa bapaknya pasti akan ditimpa adzab, bahkan beliau menegurnya dengan penuh santun, beliau khawatir jangan-jangan bapaknya akan ditimpa adzab dari Alloh yang Maha Pengasih (lihat QS. Maryam [19]: 45).

Nabi Muhammad juga demikian ketika beliau mengajak kepada kedua pamannya yaitu Abu Tholib dan Abbas. Beliau berkata kepada keduanya dengan penuh kelembutan.
Kepada Abbas beliau berkata:
“Janganlah engkau mengharapkan kematian, wahai paman Rosululloh!” (HR. Ahmad dan Abu Ya’la)"
Beliau memulai dengan kata-kata “wahai pamanku” untuk menunjukkan kedekatan dan kecintaan beliau kepada keduanya.
Bolehkah seorang anak berdakwah kepada orang tuanya dengan cara kekerasan?
Kita dapati dari penjelasan-penjelasan para ulama bahwa seorang anak tidak boleh secara mutlak berdakwah kepada kedua orang tuanya dengan cara kekerasan, tidak boleh menakut-nakuti, memukul, menghina, berkata kasar, dan lain-lain. Alloh berfirman:


Dan Robbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Robbku, kasihilah mereka keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku sewaktu kecil.” (QS. al-Isr0’ [17]: 23–24)

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku-lah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku-lah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. Luqman [31]: 14–15)


Walaupun demikian, beberapa di antara mereka ada yang berpendapat bolehnya mendakwahi dengan cara kasar pada situasi-situasi tertentu dan ketika tidak lagi mempan dengan cara yang lembut atau yang halus, itu pun karena keinginan besar si anak terhadap kebaikan kedua orang tuanya. Sungguh pun begitu, beberapa hal berikut ini menjadi tambahan dari penjelasan-penjelasan di atas:

1. Dasar dalam dakwah adalah terhindarnya sikap keras kepada semua orang, dan kepada kedua orang tua tentunya lebih utama.

2. Bolehnya keras dalam berdakwah berhubungan erat dengan hal-hal berikut: kalau orang tua tersebut kafir dan kemungkaran yang dilakukan adalah kesyirikan dan penghinaan atas diri Nabi maka boleh mendakwahi mereka dengan keras sebagaimana yang dilakukan oleh Abdulloh tatkala mendakwahi bapaknya yang bernama Abdulloh bin Ubay bin Salul.

Apabila orang tua tersebut muslim dan kemungkaran yang dilakukan sama dengan di atas maka sikap keras tidak ditempuh kecuali dengan batasan-batasan yang sangat ketat. Hendaklah anak yang mendakwahi orang tuanya dengan keras tersebut menimbang sejauh mana maslahat dan madhorot yang dia dapat dari dakwah tersebut, jika madhorot yang terjadi lebih banyak daripada maslahatnya maka hukumnya menjadi haram. Semoga Alloh merohmati Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qoyyim yang berkata: “Jika amar ma’ruf nahi munkar merupakan kewajiban yang paling utama, maka haruslah mengandung maslahat yang lebih besar daripada kerusakan yang akan ditimbulkan, karena untuk inilah para nabi diutus dan kitab-kitab diturunkan dan Alloh tidak menyukai kerusakan. Oleh sebab itu, jika kerusakan yang ditimbulkan dari amar ma’ruf dan nahi munkar lebih besar maka ia tidak diperintahkan oleh Alloh, walaupun telah ditinggalkan kewajiban atau dilanggar perkara yang haram.”

Jika mengingkari kemungkaran akan membawa kepada kemungkaran yang lebih besar atau kepada sesuatu yang lebih dibenci oleh Alloh dan rosul-Nya maka tidak boleh diingkari walaupun Alloh membenci kemungkaran tersebut dan para pelakunya. Sebagai permisalan ialah mengingkari penguasa dengan melakukan pemberontakan kepada mereka, ini tidak boleh karena tindakan pemberontakan tersebut merupakan sumber segala kerusakan dan fitnah. Wallohu A’lam.


Bolehkah seorang anak mengubah kemungkaran orang tuanya dengan tangannya?
Sebagaimana yang kita maklumi, satu di antara tahapan dakwah (baca: amar ma’ruf nahi munkar) adalah mengubah kemungkaran dengan tangan. Dalam kaitan dengan pembahasan kita, bolehkah seorang anak mengubah kemungkaran orang tuanya dengan tangannya, seperti mematahkan batang rokoknya, menumpahkan khomernya, merobek pakaian yang terbuat dari sutra, mengembalikan harta haram yang ada di dalam rumah kepada pemiliknya yang sah, merusak gambar-gambar yang tergantung di dinding, menghancurkan bejana-bejana yang terbuat dari emas dan perak, dan lain-lain. Kalau kita mau menyadari hal-hal tersebut justru akan memancing kemarahan mereka, bisa jadi akan berakibat timbulnya kerusakan yang lebih besar.
Maka jawaban dari pertanyaan di atas—Wallohu A’lam—: “Hendaklah seorang anak mengubah kemungkaran yang dilakukan oleh orang tuanya dengan tangan jika hal tersebut tidak akan mendatangkan kerusakan atau madhorot yang lebih besar, baik terhadap dirinya, hartanya, dan keluarganya. Dan dalam mengubah kemungkaran yang dilakukan oleh orang tuanya hendaklah sang anak mempergunakan cara-cara yang lemah lembut, mendo’akan orang tuanya serta menjelaskan bahaya maksiat terhadapnya, sehingga orang tua yakin bahwa sang anak tidak memiliki maksud lain di dalam dakwahnya kecuali demi kebaikan. Berikut ini beberapa kisah yang terjadi pada diri Nabi Muhammad yang meninggalkan nahi munkar atas beberapa kemungkaran karena khawatir dampak kerusakan yang akan timbul lebih besar:

1. Nabi tidak membunuh Abdulloh bin Ubay bin Salul walaupun beliau berhak melakukannya, karena khawatir manusia akan lari dari agama Islam.

2. Nabi tidak membunuh orang-orang yang berlaku lancang kepada beliau di Ji’ronah karena beliau khawatir manusia akan lari dari Islam.

3. Nabi tidak membunuh Abdulloh bin Dzil-Khuwaishiroh karena beliau khawatir manusia akan lari dari Islam.

4. Nabi tidak merenovasi Ka’bah pada masa Quraisy dan membiarkan sebagaimana keadaannya karena beliau khawatir manusia akan lari dari Islam.

5. Nabi membiarkan seorang Badui kencing di dalam masjid hingga ia selesai dari kencingnya.
6. dan lain-lain.

Demikian penjelasan singkat tentang bagaimana semestinya kita mengubah kemungkaran—terutama mengubah kemungkaran yang dilakukan orang tua—sehingga tidak berbalik menjadi kemungkaran yang lebih besar dan kita akan menuai hasil sesuai dengan yang diharapkan. Semoga Alloh menjadikan kita dan kaum muslimin senantiasa istiqomah di atas jalan-Nya. Âmîn.

sumber:almawaddah.co.nr

0 komentar:

Posting Komentar